Pengaruh Etika Bisnis Terhadap Kejahatan Korporasi Dalam Lingkup Ekonomi



Pendahuluan

     Kejahatan ekonomi (economic crimes) secara umum dirumuskan sebagai kejahatan yang dilakukan karena atau untuk motif-motif ekonomi (crime undertaken for economic motives). Kejahatan ekonomi bisa dilihat secara sempit maupun dalam arti luas. Secara yuridis kejahatan ekonomi dapat dilihat secara sempit sebagai tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Undang-undang No. 7/Drt./ 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Di samping itu kejahatan ekonomi juga dapat dilihat secara luas yaitu semua tindak pidana di luar Undang-undang TPE (UU No. 7 drt. 1955) yang bercorak atau bermotif ekonomi atau yang dapat mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan keuangan negara yang sehat (Barda Nawawi Arief, 1992 :152).
     Kegiatan di bidang perekonomian dan keuangan negara yang sehat dapat meliputi bidang yang sangat luas dan saling terkait, antara lain dalam bidang usaha perdagangan, industri, dan perbankan. Pengertian dan ruang lingkup kejahatan ekonomi dalam arti luas inilah yang dalam istilah asing biasa disebut dengan istilah economic crimes, crime as business, business crime, abuse of economic power atau economic abuses (Barda Nawawi Arief, 1992 :148).

A.      Kejahatan Korporasi
            Definisi Kejahatan Korporasi
     Kejahatan diartikan sebagai suatu perbuataan yang oleh masyarakat dipandang sebagai kegiatan yang tercela, dan terhadap pelakunya dikenakan hukuman (pidana). Sedangkan korporasi adalah suatu badan hukum yang diciptakan oleh hukum itu sendiri dan mempunyai hak dan kewajiban. Jadi, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum yang dapat dikenakan sanksi. Dalam literature sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi ini merupakan salah satu bentuk White Collar Crime.Dalam arti luas kejahatn korporasi ini sering rancu dengan tindak pidana okupasi, sebab kombinasi antara keduanya sering terjadi.
     Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejahatan korporasi pada umumnya dilakukan oleh orang dengan status social yang tinggi dengan memanfaatkan kesempatan dan jabatan tertentu yang dimilikinya. Dengan kadar keahlian yang tinggi dibidang bisnis untuk mendapatkan keuntungan dibidang ekonomi.

B.       Kejahatan Ekonomi
1)   Kejahatan Ekonomi Sebagai White Collar Crime
     Dibandingkan dengan kejahatan tradisional yang lain, khususnya kejahatan terhadap harta benda, kejahatan ekonomi mempunyai karakteristik khusus. Kejahatan ekonomi lebih banyak tergantung pada sistem ekonomi dan tingkat pembangunan suatu masyarakat. Dengan demikian sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis ataupun sistem gabungan masing-masing akan memiliki pengaturan tersendiri tentang apa yang dinamakan kejahatan ekonomi. Berkaitan dengan tindak pidana ekonomi ini mula di mengemukakan bahwa yang paling mendasar adalah pemahaman bahwa tindak pidana di bidang perekonomian merupakan bagian dari hukum ekonomi yang berlaku di suatu bangsa, sedangkan hukum ekonomi yang berlaku di suatu negara tidak terlepas dari sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa tersebut (1992 :13).
     Kejahatan ekonomi mencakup pula kejahatan korporasi yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi yang diancam dengan sanksi baik sanksi hukum administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana. Kejahatan korporasi tersebut dapat berupa “crime for corporations” atau “ corporate criminal”. Sedangkan “crimes against corporations” lebih bersifat kejahatan okupasional (occupational crime) untuk kepentingan pribadi, misalnya penggelapan uang perusahaan.
     Dalam kejahatan ekonomi seringkali terdapat batas yang sempit antara legalitas, illegalitas dan kriminalitas (mala prohibita) dan bukan “mala in se”. Pelaku sering merasakan dirinya bukan sungguh-sungguh jahat tetapi lebih karena kesialan (unfortunate mistake) atau secara teknis tidak berbuat apa yang diharuskan (technical ommision). Perumusan tindak pidana cenderung akan dianggap sebagai campur tangan pemerintah yang terlalu luas bagi dunia bisnis sehingga dianggap sebagai over criminalization.
     Istilah White Collar Crime (WCC) sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kejahatan kerah putih” atau “kejahatan berdasi”. Istilah WCC ini pertama kali dikemukakan oleh seorang kriminolog Amerika Serikat yang bernama Edwin Hardin Sutherland (1883-1950) di awal dekade 1940-an yang dikemukakan dalam suatu pidato tanggal 27 Desember 1939 pada The American Sociological Society di Philadelphia. Kemudian Sutherland menerbitkan buku yang berjudul White Collar Crime pada Tahun 1949.
     Sutherland merumuskan WCC sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crime committed by persons of respectability ang high social status in the course of their occupation). Istilah WCC memiliki pesan moral dan politik yang nampak dari dua elemen yaitu status pelaku (status of the offender) dan kedua, kejahatan tersebut berkaitan dengan karakter pekerjaan atau jabatan tertentu (the occupation of character of the offence). Dua elemen inilah yang membedakannya dari Blue Collar Crime. Dalam bukunya yang berjudul White Collar Crime Sutherland menjelaskan bahwa istilah WCC ini terutama digunakan untuk menunjuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pengusaha dan pejabat-pejabat eksekutif yang merugikan kepentingan umum.
     Ada beberapa pengelompokan WCC di antaranya adalah sebagai berikut :

  1. WCC yang bersifat individual, berskala kecil dan modus operandi yang sederhana. Sebagai contoh di Indonesia adalah dalam kasus BLBI, di mana dana yang seharusnya diperuntukan bagi bank miliknya yang sedang kesulitan likuiditas justru untuk kepentingan pribadi.
  2. WCC yang bersifat individual, berskala besar dengan modus operandi yang kompleks. WCC seperti ini biasanya memakai pola yang sistematis dengan perencanaan dan pelaksanaan yang bisa memakan waktu yang cukup lama. Ini bisa dalam bentuk berbagai kolusi dengan ahli-ahli tertentu atau dengan orang dalam perusahaan tertentu. 
  3. WCC yang melibatkan korporasi. Pelaku WCC adakalanya bukan individu tetapi sebuah korporasi sehingga kita mengenal istilah kejahatan korporasi (corporate crime). Dalam hal ini yang  diangap sebagai pelaku adalah korporasi, sehingga muncul teori-teori hukum yang memberikan justifikasi terhadap pemidanaan suatu korporasi. Sebagai contoh adalah perusahan Ford Motor Company yang pernah diproses pidana di pengadilan negara bagian Indiana Amerika Serikat karena dianggap melakukan tindak pidana pembunuhan, karena sangat terlambat memperbaiki kesalahan dalam tangki bensin dari produk mobilnya yang bernama PINTO, sehingga banyak mobil meledak dan mematikan penumpangnya. Perusahaan enggan memperbaiki atau menarik mobil tersebut dari peredaran karena akan ada cost yang harus dikeluarkan sehingga akan mengurangi keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan mobilnya itu. Konsekuensinya perusahaan tersebut didakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan (corporate crime), meskipun hal tersebut pada akhirnya tidak terbukti di pengadilan. 
  4. WCC di sektor publik, suatu WCC juga dapat terjadi di sektor publik yaitu yang melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasan publik atau pejabat pemerintah, sehingga dikenal istilah kejahatan jabatan (occupational crime). Sebagai contoh adalah berbagai bentuk korupsi dan penyuapan sehingga terjadi penyalahgunaan kewenangan publik.
      Salah satu model WCC di sektor publik adalah kolusi atau konspirasi antara penguasa dan pengusaha yang bisa meliputi berbagai bidang seperti administratif, litigasi, perbankan, dan sebagainya. Para pelaku perbuatan WCC ini sering disebut dengan istilah-istilah seperti White Collar Criminal, Criminaloids, Criminals of the Upper World, Educated Criminals.
     Menurut Edward Ross yang dimaksudkan dengan criminaloids adalah mereka yang melakukan praktik-praktik kriminal dalam menjalankan tugas/pekerjaannya, tetapi kejahatannya belum disorot oleh publik. Yang menjadi kunci dari criminaloids bukanlah kehendak jahat dari pelaku melainkan moral mereka yang tidak sensitif. Para criminaloids ini bukanlah seperti penjahat jalanan, mereka ini adalah orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dan terhormat di masyarakat. Mereka ini biasanya menggunakan standar ganda, di satu sisi tampak sebagai orang yang selalu berbuat baik tetapi disisi lain menggunakan cara-cara yang tidak etis dalam menjalankan pekerjaan atau profesinya.

2)   Kejahatan Perbankan
     Kejahatan perbankan merupakan salah satu bentuk kejahatan WCC. Salah satu perumusan kejahatan perbankan menyebutkan kejahatan perbankan (banking crime) adalah suatu jenis kejahatan yang secara melawan hukum pidana dilakukan baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja, yang ada hubungannya dengan lembaga, perangkat dan produk perbankan sehingga menimbulkan kerugian materiil dan atau imateriil bagi perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak ketiga lainnya (Munir Fuady, 2004: 74).
     Perumusan ini sangat luas sehingga kejahatan perbankan dalam konteks ini meliputi lalu-lintas giral; perizinan; rahasia bank; kejahatan oleh komisaris, direksi, atau pegawai bank; perkreditan; penipuan; penggelapan; pemalsuan. Demikian juga modus operandi yang digunakan bisa meliputi pemalsuan dokumen jaminan, barang jaminan untuk memperoleh kredit digunakan beberapa kali, mendapat beberapa kredit untuk proyek yang sama, mendapat kredit dengan jaminan fiktif, pemberian kredit atas proyek fiktif, penyimpangan dari perjanjian membuka kredit dan sebagainya.
     Penggolongan lain menyatakan bahwa modus operandi perbankan dapat dikelompokan sebagai tindak pidana yaitu sebagai berikut : tindak pidana umum, misalnya pemalsuan kartu kredit, giro bilyet dan sebagainya; tindak pidana perbankan, misalnya praktik bank gelap; tindak pidana korupsi, misalnya kasus kredit likuiditas Bank Indonesia, manipulasi data untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan sebagainya.
     Ada pula yang membagi kejahatan perbankan dalam kategori sebagai berikut :
  1. Kejahatan fisik, kejahatan perbankan kategori ini sebenarnya merupakan kejahatan konvensional akan tetapi berhubungan dengan perbankan. Terhadap kejahatan ini berlaku sepenuhnya KUHP misalnya perampokan bank, penipuan dan lain-lain. 
  2. Pelanggaran administrasi perbankan, sebagai lembaga pelayanan publik, maka banyak ketentuan administratif yang harus dipenuhi oleh perbankan, bahkan sebagian di antaranya pelanggaran ketentuan administratif ini dianggap sebagai tindak pidana. Hal ini diatur di dalam Undang-Undang Perbankan yang berlaku. Sebagai contoh adalah bank gelap, tidak memenuhi batas maksimum pemberian kredit dan sebagainya.
  3. Kejahatan produk bank, produk bank sangat beragam, karena itu kejahatan yang berhubungan dengan produk bank juga beraneka ragam, demikian juga ketentuan hukumnya juga beraneka ragam yaitu KUHP, UU Perbankan, dan Undang-undang Khusus lainnya. Sebagai contoh adalah pemberian kredit secara tidak benar misalnya tanpa agunan atau agunan fiktif, pemalsuan warkat bank, pemalsuan kartu kredit, transfer uang kepada yang tidak berhak dan sebagainya.
  4. Kejahatan profesional perbankan yaitu kejahatan perbankan yang berkenaan dengan pelanggaran profesi sebagai bankir. Sebagian pelanggaran ini diatur di dalam Undang-undang yang berlaku, sebagian lainnya hanya merupakan pelanggaran moral yang diatur dalam Kode Etik Bankir Indonesia. Sebagai contoh adalah membuka rahasia bank, tidak melakukan prinsip know your customer sehingga meloloskan money laundering. 
  5. Kejahatan Likuiditas Bank Sentral, Bank Sentral dalam hal ini Bank Indonesia merupakan tempat meminjam terakhir (the lender of the last resort). Artinya jika bank-bank mengalami kesulitan likuiditas seperti kalah kliring atau terjadi rush nasabah, maka bank yang bersangkutan bisa meminjam uang sementara kepada Bank Indonesia. Hal ini pernah terjadi di tahun 1998 – 1999 di mana Bank Indonesia mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dikenal dengan BLBI kepada sejumlah bank yang sakit, dengan harapan dapat sehat kembali. Namun ternyata banyak terjadi penyalahgunaan dana BLBI tersebut. 
  6. Pelanggaran moralitas, selain kejahatan perbankan tersebut ada juga yang sifatnya masih dalam ruang lingkup etika perbankan. Penggolongan lain menyatakan bahwa modus operandi perbankan dapat dikelompokkan sebagai tindak pidana yaitu tindak pidana umum, misalnya pemalsuan kartu kredit, giro bilyet dan sebagainya.
     Tindak pidana perbankan, misalnya praktik bank gelap; tindak pidana korupsi, misalnya kasus kredit likuiditas Bank Indonesia, manipulasi data untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan sebagainya.

Kutipan Jurnal  : Supriyanta (Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta).
Judul Jurnal      : RUANG LINGKUP KEJAHATAN EKONOMI

Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 1, April 2007 : 42 – 52
0 Responses